Senin, 15 Desember 2008

100 % OMK, 100% INDONESIA

Oleh. Faris Wangge

Indonesia tanpa kebhinekaan bukanlah Indonesia. Sejatinya negeri ini dibangun diatas dasar kebhinekaan suku, agama, keyakinan, golongan,ras dsb-nya. Dalam perspektif geografis yang menyatukan negeri ini adalah lautannya yang luas. Sehingga dalam konteks kekinian dan ke-akanan Indonesia adalah negara kesatuan kepulauan, dengan lautan sebagai penghubung kebersatuan negeri ini. Bila Obama dengan bangga menyebut negaranya sebagai The United State Of Amerika, maka sayapun bangga menyebut negri ini dengan The Archipelago State Of Indonesia. Lautan adalah tangga penghubung pulau satu dengan lainnya.Jika lautan itu adalah solidaritas maka Indonesia menjadi sesuatu yang tersambungkan karena solidaritas itu. Solidaritas antar pulau tak mungkin ada jika tak ada solidaritas antar manusianya yang berbeda.

Demikianlah,solidaritas yang menjadi pintu penghubung kemanusiaan kita dalam kenyataan hari ini kerapkali hanya menjadi slogan tak berjiwa. Keberlainan kita cenderung dilihat sebagai ancaman.Manusia Indonesia terjebak dalam pusaran dikotomi antagonistik (sebuah realitas dari keberlainan yang saling meniadakan/saling menghancurkan). Maka karenanya menjadi penting hari ini, bagi semua kita untuk kembali berbicara tentang kebhinekaan,tentang hakikat Pancasila, tentang alasan pendirian negeri ini.


Seharusnya keberlainan adalah dasar pijakan bersama menuju cita-cita kebangsaan. Tinggal bagaimana cara kita menyumbangkan potensi baik dari keberlainan tersebut, bagi sebuah kehidupan bersama (respublika) yang lebih baik. Dengan kata lain, bagaimana cara kita mengelola sebuah kebhinekaan menjadi sesuatu yang konstruktif. Tentu ketika paradigma, ini digunakan maka kerap terjadi kontradiksi kepentingan didalamnya. Menurut saya hal ini tergantung bagaimana cara kita menjaga kenyataan dari kemungkinan kepentingan kita yang berlainan dan bagaimana kenyataan dari kemungkinan kepentingan yang berlainan tersebut berkonsekuensi terhadap ruang hidup kebangsaan yang lebih baik? Meminjam ungkapan seorang penulis Bali, I Gde Prama, yang menawarkan sebuah manajemen perbedaan yang berlatar pada dua aras. Pertama, perbedaan haruslah diterima sebagai kenyataan, Kedua upaya terus menerus mentransformasikan perbedaan itu sebagai kekayaan.

Pada titik ini,dalam konteks kita sebagai bagian dari Orang Muda Katolik (OMK), maka menjadi sangat beralasan untuk berpartisipasi dalam Politik. Berpolitik ala OMK menurut saya haruslah didasarkan oleh kesadaran kritis membangun kolaborasi bersama dalam cara maupun gagasan tentang Indonesia kini dan akan, yang berbasis pada keberpihakan yang sungguh pada kehidupan bukan interest politik sesaat. Singkatnya, politik ala OMK adalah politik yang ber-Visi.

Sebabnya karena memang, ketidakadilan terbesar saat ini, di negeri ini adalah bahwa orang yang memiliki banyak relatif sedikit dan mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa jumlahnya banyak. Perjuangan politik OMK harus berbasis pada keberpihakan pada kaum miskin dan dimiskinkan,kaum yang terpinggirkan,dan terlupakan (Spirit for The Poor). Dengan aras berfikir seperti ini maka Indonesia baru yang harus OMK idealkan adalah Indonesia yang berbasis kebiasaan hidup yang bersandar pada hati nurani,kejujuran, keadilan,solidaritas,amanah dan etos kerja.

Semua idealitas diatas hanya bisa dikerjakan dan diperjuangkan secara sadar oleh kita di negeri ini jika demokrasi yang berbasis kebhinekaan diterima sebagai sebuah kebenaran bersama, seperti yang telah tertuang dalam mukadimah UUD 1945, dan dasar Negara Pancasila dengan sadar kita terima sebagai pedoman arah bagi kita dalam mengelola hidup bersama. Karena-nya saya mengajak untuk bersama-sama memperdalam demokrasi pluralis Indonesia, dengan pilihan cara dan tindakan kita masing-masing dengan latar belakang kita masing-masing.

Bagi saya perjuangan (dalam pilar badan publik) untuk memperdalam demokrasi yang pluralis haruslah dibarengi dengan kerja-kerja kultural di ranah civil society (pilar komunitas), dan juga semangat ini haruslah juga hidup dan menjadi bagian dari kerja-kerja ekonomi (pilar pasar). Sehingga demokrasi berbasis kebhinekaan tidak hanya menjadi kata namun juga tindakan yang kongkrit.Tidak hanya menjadi teks mati tetapi konteks yang hidup.

Songsong Pemilu 2009

Pemilu 2009 adalah ujian penting bagi keberlangsungan hidup bangsa ini setelahnya. Dalam sepuluh tahun ini, Indonesia sedang berasa pada sebuah selang waktu (Transisi Demokrasi). Meminjam analisa Guilermo O’Donnel dan Philipe Schimter (1993), dalam pengalaman penelitian mereka di Amerika latin yang mendefinisikan transisi demokrasi sebagai interval atau selang waktu antara satu rezim politik dengan rezim yang lain. Transisi, dibatasi disatu sisi, oleh perpecahan sebuah rezim politik dengan rezim politik yang lain, dan disisi lain oleh pengesahan beberapa bentuk demokrasi, kembalinya bentuk pemerintahan otoriter dan kemunculan suatu alternatif revolusioner.

Dalam sepuluh tahun terakhir jujur harus kita akui, bahwa kita mendapai kondisi ini penuh keterpurukan. Pengalaman menarik sejak berlangsung pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada) yang dimulai pada bulan Juni 2004 hingga sekarang angka golongan putih (golput) demikian tinggi. Golongan putih (Golput) memang menjadi debatabel dalam beberapa hal, Pertama,Golput dilihat sebagai problem administratif, dimana pemilih terdaftar tak memperoleh kartu pemilih. Kedua, pemilih menggunakan waktu liburan ketika pemilu untuk benar-benar meliburkan diri tanpa meluangkan sedikit waktu untuk menggunakan haknya di bilik-bilik suara yang tersedia. Ketiga, pemilih sadar bahwa aspirasinya tersumbat (faktor figur dll) dan tidak memilih adalah pilihan-nya.

Dalam pikiran saya kenyataan ini jika dicermati sungguh mengarah pada beberapa arus gejala ini, yang antara lain memunculkan arus gejala pragmatisme yang memasif, dan di lain pihak juga terjadinya apatisme rakyat yang juga massif. Jika memakai alat analisa O’Donnel-Schimter maka dua arus ini (justru) akan lebih mengarah pada kerinduan untuk mengembalikan suasana negeri ini ke masa lampau (rezim otoritarian). Partai politik maupun para pemimpin publik dan politik mengalami krisis kepercayaan, sehingga jika setelah Pemilu 2009 kondisi bangsa ini tak memberikan ekspetasi yang konstruktif (perubahan yang lebih baru dan baik) maka konsolidasi demokrasi yang mau dituju akan semakin jauh, dan disaat yang sama kehadiran sebuah kepemimpinan yang kuat dan otoritarian (anti demokratis) akan benar-benar nyata.

Kenyatan ini dengan baik sekali digambarkan dan dikumandangakan oleh kaum muda dalam peringatan satu abad Sumpah Pemuda,28 Oktober 2008:

Sistem ekonomi yang dipakai sekarang bertumpu pada rumus sederhana: kekayaan yang satu hanya mungkin didapat dari kesengsaraan yang lain.Kesetaraan dan keadilan yang pernah digariskan para pendiri bangsa sebagai landasan hidup bersama dianggap sebagai nyanyian usang dari masa lalu.Kekayaan alam habis dikuras meninggalkan kehancuran lingkungan yang tidak terbayar.

Manusia Indonesia seperti dihantui kutuk sejarah: menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa. Reformasi politik 1998 yang mengganti kediktatoran Soeharto sempat memberi janji bahwa perubahan akan segera datang. Justru krisis semakin membelit: kemiskinan dan pengangguran merajalela, komunalisme bangkit, kebencian etnik dan agama dikobarkan, di pusat dan daerah orang memperebutkan lembaga negara dan menjadikannya sumber akumulasi kekayaan. Korupsi memporak-poranda tatanan politik, tidak ada lagi adab dan nilai. Indonesia terancam hilang dari pergaulan dunia.

Oleh karena-nya pemilu 2009 nanti jika kita sepakati sebagai sebuah arena kompetisi politik yang sehat-demokratis maka haruslah memenuhi syarat-syaratini: (1) terdapatnya pengakuan terhadap hak pilih universal, (2) terdapatnya keleluasaan membentuk tempat penampungan bagi pluralitas aspirasi masyarakat pemilih, (3) tersedia mekanisme rekruitmen politik bagi calon-calon legislative yang demokratis, (4) ada kebebasan bagi pemilih untuk mendiskusikan dan menentukan pilihan, (5) ada komite atau panitia pemilihan yang independen, (6) ada keleluasaan bagi kontestan untuk berkompetisi secara sehat dimana perhitungan suara dilakukan secara jujur; (7) dan yang terakhir namun bukan paling sepele yakni sikap birokrasi yang netral.

Dalam konteks mengakomodasi potensi mayoritas lokal terkait dengan momentum pemilu 2009 nanti haruslah beralaskan pada seluruh point diatas. Saya memandang bahwa para pemimpin yang terlahirkan setelah Pemilu 2009 nanti adalah Pertama, memiliki kapabiltas dan kemampuan untuk menyambungkan apa yang sesungguhnya yang menjadi kebutuhan utama warga di daerah pemilihannya (Dapil) dengan kebijakan yang hendak dilahirkan. Kedua, berdiri pada komitmen yang sungguh terhadap nilai-nilai yang bersandar pada hati nurani,kejujuran, keadilan,solidaritas,amanah dan etos kerja.

100 % OMK, 100 % INDONESIA

Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang mesti mengusung kebhinekaan sebagai tanah sekaligus pulau yang dituju dan memberikan ruang yang luas bagi potensi lokal untuk bersama-sama mengelola sebuah langkah dari perubahan yang dicita-citakan itu. Oleh karena-nya demokrasi yang berlandaskan hak azasi manusia dan unsur-unsur kebebasan untuk rakyat selalu merupakan demokrasi yang pluralistik.

Dalam arus besar keberlainan inilah demokrasi Indonesia bertumbuh dan hidup. Keberlainan yang memberi ruang yang luas bagi hidup dan bertumbuhnya kebebasan sosial dan politik (HAM Sipol) di Indonesia, haruslah dinaikan kwalitasnya dalam perspektif kolaboratif yang konstruktif dari kebhinekaan potensi mayoritas lokal yang ada dalam perjuangan terhadap pemenuhan hak ekonomi,sosial dan budaya (HAM Ekosob), dan secara bersamaan tiada henti menjaga keberlangsungan hidup dalam semangat ecological justice (Hak atas lingkungan yang sehat).

Semua ini karena kita sadar bahwa kita adalah 100% OMK, 100% Indonesia!

* Delegasi KomKep Denpasar, Dalam Temu Relawan Politik OMK , 27 – 30 Nov 2008 di Wisma Samadi Klender Jakarta)

Tidak ada komentar: