Senin, 15 Desember 2008

100 % OMK, 100% INDONESIA

Oleh. Faris Wangge

Indonesia tanpa kebhinekaan bukanlah Indonesia. Sejatinya negeri ini dibangun diatas dasar kebhinekaan suku, agama, keyakinan, golongan,ras dsb-nya. Dalam perspektif geografis yang menyatukan negeri ini adalah lautannya yang luas. Sehingga dalam konteks kekinian dan ke-akanan Indonesia adalah negara kesatuan kepulauan, dengan lautan sebagai penghubung kebersatuan negeri ini. Bila Obama dengan bangga menyebut negaranya sebagai The United State Of Amerika, maka sayapun bangga menyebut negri ini dengan The Archipelago State Of Indonesia. Lautan adalah tangga penghubung pulau satu dengan lainnya.Jika lautan itu adalah solidaritas maka Indonesia menjadi sesuatu yang tersambungkan karena solidaritas itu. Solidaritas antar pulau tak mungkin ada jika tak ada solidaritas antar manusianya yang berbeda.

Demikianlah,solidaritas yang menjadi pintu penghubung kemanusiaan kita dalam kenyataan hari ini kerapkali hanya menjadi slogan tak berjiwa. Keberlainan kita cenderung dilihat sebagai ancaman.Manusia Indonesia terjebak dalam pusaran dikotomi antagonistik (sebuah realitas dari keberlainan yang saling meniadakan/saling menghancurkan). Maka karenanya menjadi penting hari ini, bagi semua kita untuk kembali berbicara tentang kebhinekaan,tentang hakikat Pancasila, tentang alasan pendirian negeri ini.


Seharusnya keberlainan adalah dasar pijakan bersama menuju cita-cita kebangsaan. Tinggal bagaimana cara kita menyumbangkan potensi baik dari keberlainan tersebut, bagi sebuah kehidupan bersama (respublika) yang lebih baik. Dengan kata lain, bagaimana cara kita mengelola sebuah kebhinekaan menjadi sesuatu yang konstruktif. Tentu ketika paradigma, ini digunakan maka kerap terjadi kontradiksi kepentingan didalamnya. Menurut saya hal ini tergantung bagaimana cara kita menjaga kenyataan dari kemungkinan kepentingan kita yang berlainan dan bagaimana kenyataan dari kemungkinan kepentingan yang berlainan tersebut berkonsekuensi terhadap ruang hidup kebangsaan yang lebih baik? Meminjam ungkapan seorang penulis Bali, I Gde Prama, yang menawarkan sebuah manajemen perbedaan yang berlatar pada dua aras. Pertama, perbedaan haruslah diterima sebagai kenyataan, Kedua upaya terus menerus mentransformasikan perbedaan itu sebagai kekayaan.

Pada titik ini,dalam konteks kita sebagai bagian dari Orang Muda Katolik (OMK), maka menjadi sangat beralasan untuk berpartisipasi dalam Politik. Berpolitik ala OMK menurut saya haruslah didasarkan oleh kesadaran kritis membangun kolaborasi bersama dalam cara maupun gagasan tentang Indonesia kini dan akan, yang berbasis pada keberpihakan yang sungguh pada kehidupan bukan interest politik sesaat. Singkatnya, politik ala OMK adalah politik yang ber-Visi.

Sebabnya karena memang, ketidakadilan terbesar saat ini, di negeri ini adalah bahwa orang yang memiliki banyak relatif sedikit dan mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa jumlahnya banyak. Perjuangan politik OMK harus berbasis pada keberpihakan pada kaum miskin dan dimiskinkan,kaum yang terpinggirkan,dan terlupakan (Spirit for The Poor). Dengan aras berfikir seperti ini maka Indonesia baru yang harus OMK idealkan adalah Indonesia yang berbasis kebiasaan hidup yang bersandar pada hati nurani,kejujuran, keadilan,solidaritas,amanah dan etos kerja.

Semua idealitas diatas hanya bisa dikerjakan dan diperjuangkan secara sadar oleh kita di negeri ini jika demokrasi yang berbasis kebhinekaan diterima sebagai sebuah kebenaran bersama, seperti yang telah tertuang dalam mukadimah UUD 1945, dan dasar Negara Pancasila dengan sadar kita terima sebagai pedoman arah bagi kita dalam mengelola hidup bersama. Karena-nya saya mengajak untuk bersama-sama memperdalam demokrasi pluralis Indonesia, dengan pilihan cara dan tindakan kita masing-masing dengan latar belakang kita masing-masing.

Bagi saya perjuangan (dalam pilar badan publik) untuk memperdalam demokrasi yang pluralis haruslah dibarengi dengan kerja-kerja kultural di ranah civil society (pilar komunitas), dan juga semangat ini haruslah juga hidup dan menjadi bagian dari kerja-kerja ekonomi (pilar pasar). Sehingga demokrasi berbasis kebhinekaan tidak hanya menjadi kata namun juga tindakan yang kongkrit.Tidak hanya menjadi teks mati tetapi konteks yang hidup.

Songsong Pemilu 2009

Pemilu 2009 adalah ujian penting bagi keberlangsungan hidup bangsa ini setelahnya. Dalam sepuluh tahun ini, Indonesia sedang berasa pada sebuah selang waktu (Transisi Demokrasi). Meminjam analisa Guilermo O’Donnel dan Philipe Schimter (1993), dalam pengalaman penelitian mereka di Amerika latin yang mendefinisikan transisi demokrasi sebagai interval atau selang waktu antara satu rezim politik dengan rezim yang lain. Transisi, dibatasi disatu sisi, oleh perpecahan sebuah rezim politik dengan rezim politik yang lain, dan disisi lain oleh pengesahan beberapa bentuk demokrasi, kembalinya bentuk pemerintahan otoriter dan kemunculan suatu alternatif revolusioner.

Dalam sepuluh tahun terakhir jujur harus kita akui, bahwa kita mendapai kondisi ini penuh keterpurukan. Pengalaman menarik sejak berlangsung pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada) yang dimulai pada bulan Juni 2004 hingga sekarang angka golongan putih (golput) demikian tinggi. Golongan putih (Golput) memang menjadi debatabel dalam beberapa hal, Pertama,Golput dilihat sebagai problem administratif, dimana pemilih terdaftar tak memperoleh kartu pemilih. Kedua, pemilih menggunakan waktu liburan ketika pemilu untuk benar-benar meliburkan diri tanpa meluangkan sedikit waktu untuk menggunakan haknya di bilik-bilik suara yang tersedia. Ketiga, pemilih sadar bahwa aspirasinya tersumbat (faktor figur dll) dan tidak memilih adalah pilihan-nya.

Dalam pikiran saya kenyataan ini jika dicermati sungguh mengarah pada beberapa arus gejala ini, yang antara lain memunculkan arus gejala pragmatisme yang memasif, dan di lain pihak juga terjadinya apatisme rakyat yang juga massif. Jika memakai alat analisa O’Donnel-Schimter maka dua arus ini (justru) akan lebih mengarah pada kerinduan untuk mengembalikan suasana negeri ini ke masa lampau (rezim otoritarian). Partai politik maupun para pemimpin publik dan politik mengalami krisis kepercayaan, sehingga jika setelah Pemilu 2009 kondisi bangsa ini tak memberikan ekspetasi yang konstruktif (perubahan yang lebih baru dan baik) maka konsolidasi demokrasi yang mau dituju akan semakin jauh, dan disaat yang sama kehadiran sebuah kepemimpinan yang kuat dan otoritarian (anti demokratis) akan benar-benar nyata.

Kenyatan ini dengan baik sekali digambarkan dan dikumandangakan oleh kaum muda dalam peringatan satu abad Sumpah Pemuda,28 Oktober 2008:

Sistem ekonomi yang dipakai sekarang bertumpu pada rumus sederhana: kekayaan yang satu hanya mungkin didapat dari kesengsaraan yang lain.Kesetaraan dan keadilan yang pernah digariskan para pendiri bangsa sebagai landasan hidup bersama dianggap sebagai nyanyian usang dari masa lalu.Kekayaan alam habis dikuras meninggalkan kehancuran lingkungan yang tidak terbayar.

Manusia Indonesia seperti dihantui kutuk sejarah: menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa. Reformasi politik 1998 yang mengganti kediktatoran Soeharto sempat memberi janji bahwa perubahan akan segera datang. Justru krisis semakin membelit: kemiskinan dan pengangguran merajalela, komunalisme bangkit, kebencian etnik dan agama dikobarkan, di pusat dan daerah orang memperebutkan lembaga negara dan menjadikannya sumber akumulasi kekayaan. Korupsi memporak-poranda tatanan politik, tidak ada lagi adab dan nilai. Indonesia terancam hilang dari pergaulan dunia.

Oleh karena-nya pemilu 2009 nanti jika kita sepakati sebagai sebuah arena kompetisi politik yang sehat-demokratis maka haruslah memenuhi syarat-syaratini: (1) terdapatnya pengakuan terhadap hak pilih universal, (2) terdapatnya keleluasaan membentuk tempat penampungan bagi pluralitas aspirasi masyarakat pemilih, (3) tersedia mekanisme rekruitmen politik bagi calon-calon legislative yang demokratis, (4) ada kebebasan bagi pemilih untuk mendiskusikan dan menentukan pilihan, (5) ada komite atau panitia pemilihan yang independen, (6) ada keleluasaan bagi kontestan untuk berkompetisi secara sehat dimana perhitungan suara dilakukan secara jujur; (7) dan yang terakhir namun bukan paling sepele yakni sikap birokrasi yang netral.

Dalam konteks mengakomodasi potensi mayoritas lokal terkait dengan momentum pemilu 2009 nanti haruslah beralaskan pada seluruh point diatas. Saya memandang bahwa para pemimpin yang terlahirkan setelah Pemilu 2009 nanti adalah Pertama, memiliki kapabiltas dan kemampuan untuk menyambungkan apa yang sesungguhnya yang menjadi kebutuhan utama warga di daerah pemilihannya (Dapil) dengan kebijakan yang hendak dilahirkan. Kedua, berdiri pada komitmen yang sungguh terhadap nilai-nilai yang bersandar pada hati nurani,kejujuran, keadilan,solidaritas,amanah dan etos kerja.

100 % OMK, 100 % INDONESIA

Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang mesti mengusung kebhinekaan sebagai tanah sekaligus pulau yang dituju dan memberikan ruang yang luas bagi potensi lokal untuk bersama-sama mengelola sebuah langkah dari perubahan yang dicita-citakan itu. Oleh karena-nya demokrasi yang berlandaskan hak azasi manusia dan unsur-unsur kebebasan untuk rakyat selalu merupakan demokrasi yang pluralistik.

Dalam arus besar keberlainan inilah demokrasi Indonesia bertumbuh dan hidup. Keberlainan yang memberi ruang yang luas bagi hidup dan bertumbuhnya kebebasan sosial dan politik (HAM Sipol) di Indonesia, haruslah dinaikan kwalitasnya dalam perspektif kolaboratif yang konstruktif dari kebhinekaan potensi mayoritas lokal yang ada dalam perjuangan terhadap pemenuhan hak ekonomi,sosial dan budaya (HAM Ekosob), dan secara bersamaan tiada henti menjaga keberlangsungan hidup dalam semangat ecological justice (Hak atas lingkungan yang sehat).

Semua ini karena kita sadar bahwa kita adalah 100% OMK, 100% Indonesia!

* Delegasi KomKep Denpasar, Dalam Temu Relawan Politik OMK , 27 – 30 Nov 2008 di Wisma Samadi Klender Jakarta)

The 8 Habit's

Dari keefektifan menuju keagungan

Oleh.FARIS WANGGE

Apakah saya manusia?

Perubahan itu alamiah dan pasti terjadi.Waktu pasti berlalu, dan generasi pasti berganti. Lantas, jika memang perubahan itu pasti, untuk apa kita membicarakannya? Hal ini mengingatkan saya pada pertanyaan Sujiwo Tejo, budayawan,aktor dan penulis. Ia bertanya: jika engkau manusia, lalu apa yang membedakanmu dengan anjing? Dengan pede saya menjawab: saya punya kemanusiaan sementara anjing tidak, dan saya punya akal, anjing hanya punya naluri saja. Ia dengan enteng menempeleng saya: jika jawabanmu hanya segitu aja, anak TK pun tahu? Sayapun, terdiam. Ia lalu berujar: manusia pantas disebut manusia jika dari waktu ke waktu ia berubah menjadi lebih baik. Jika hari ini engkau mencuri (corupt), dan besok masih mencuri juga maka engkau tak pantas disebut manusia tetapi tikus. Jika hari ini engkau menindas orang lain, dan besok masih menindas juga maka engkau tak pantas disebut manusia tetapi srigala.

Jika kesadaran kita hanya berdiri pada perubahan yang alamiah itu, maka kita belum pantas disebut manusia. Manusia itu tak sekedar makluk berpikir, tapi makluk yang mampu merasai dan merasakan, makluk yang juga punya kehendak bebas untuk menentukan arah hidupnya dan makluk yang memiliki jutaan daya khayal dalam dirinya. Mengutip iklan sebuah produk di pinggang Jl. PB Sudirman Denpasar: Perubahan itu perlu! Ya, perubahan itu tak sekedar pasti tapi juga perlu! Kita perlu berubah menjadi lebih dari sekedar baik tetapi menjadi inspirator bagi sesama kita yang lain agar mereka juga berubah menjadi lebih baik.

Penulis buku mega-best-seller, The 8th Habit-Stephen R Covey mengatakan: kita sebagai manusia ketika ada, berada, dan menjadi bagian dari dunia pada dasarnya adalah baik, yang membedakan manusia dengan makluk hidup lain adalah bahwa setiap manusia memiliki:

1) Kesadaran diri
2) Imajinasi
3) Kehendak bebas
4) Nurani

Oleh karena ke-empat hal diatas maka kita kemudian mengenal istilah Habit, Habitus atau Kebiasaan.

Mendefinisikan kebiasaan (Stephen R Covey)
Kebiasaan adalah dasar pembentukan watak seseorang. Ketika seseorang sudah mempunyai sesuatu yang dilakukan terus menerus (dan menjadi kebiasaan), maka ia diibaratkan sudah mempunyai nasibnya. Gagasan dasarnya adalah pada diri kita melekat sesuatu yang terus menerus kita lakukan. Ketika sudah melakukan sesuatu dan terus menerus diulang itulah yang dinamakan kebiasaan kita. Kalau kita menabur watak, pada dasarnya kita sedang menuai nasib.

Sekali lagi ketika kita sebagai manusia berada di tengah dunia dan menjadi bagian utuh dari dunia maka kita sebagai manusia pada dasarnya baik. Tuhan sang maha pencipta memang menciptakan kita sesuai citra dirinya yang baik. Namun, pertanyaannya adalah mengapa ketika kita telah berada ditengah dunia dan menjadi bagian dari dunia justru masuk dalam pusaran dua arus ini: manusia baik vs manusia jahat, kebiasaan efektif vs kebiasaan tak efektif? Dalam ajaran agama-agama kita mengenal istilah surga vs neraka, dosa vs amal baik. Letak soalnya dimana? Mengapa? Dan bagaimana mengatasinya? Pada titik inilah Stephen R Covey menganjurkan dan anjurannya menurut saya tak jauh berbeda dengan anjuran yang sudah-sudah. Covey berseru: Temukanlah suaramu, lalu ilhami lah orang lain menemukan suaranya!.

Di tempat yang lain Rheinald Kasali, penulis buku Re-Code juga berujar: Perubahan pada dasarnya bukan menerapkan tekhnologi, metode, struktur atau manajer-manajer baru. Perubahan pada dasarnya adalah mengubah cara manusia dalam berfikir dan berperilaku.Kala kita bodoh, kita memang ingin menguasai orang lain. Kala kita bijak, kita ingin menguasai diri sendiri”. Lantas Marcel Proust-pun berseru: Penemuan yang sesungguhnya bukanlah ada pada penemuan tanah baru, tetapi dalam cara memandang dengan mata baru”. Lewat buku The Divine Code of Life, Kazuo Murakami menegaskan: Di dalam sel manusia ada gen yang disebut dengan gen dormant (gen yang tertutup dan tidak bekerja) dimana gen tersebut akan hidup jika dibantu dengan optimisme yang kuat. Namun, hal sebaliknya juga akan terjadi dimana gen dormant ini akan mati kalau tidak dibantu dengan berfikir positif. “Jadi kata kuncinya adalah kalau anda yakin bahwa anda bisa dan anda percaya bahwa masa depan anda adalah masa depan yang oke, maka gen ini akan hidup. Anda harus memiliki optimisme setiap hari. Kalau optimisme saja anda tidak punya, bagaimana anda mau hidup?” Lalu dengan yakin, seyakin-yakin-nya Stephen R Covey kembali berujar: Jika ingin berubah maka ubahlah dulu paradigma anda.

Serpihan pemikiran diatas mengarahkan saya, anda dan semua kita untuk melihat kembali, memeriksa ulang, prosesi perjalanan hidup kita sejak kita dilahirkan hingga saat ini. Perubahan yang hendak kita ulas dan kita bahas pada kesempatan ini adalah sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Persoalannya tak terletak pada soal bahwa saat ini kita sedang kurang baik namun jawabannya justru ada ketika dengan jujur dan mau terbuka memeriksanya secara teliti, cermat dan genuine (jernih).

Darimana kita memulainya? Melalui sekuel The 7th Habit’s dan The 8th Habit inilah saya kira bisa kita jadikan jembatan menuju perubahan itu. Catatan ini merupakan resume (ringkasan) dari pemikiran Stephen R Covey. Saya berupaya merangkumnya secara umum, dengan memilah dan memilih beberapa pointers kunci saja.

Paradigma-Sikap-Perilaku

Langkah 1:
Ubahlah dulu paradigma anda
Jika ingin berubah maka ubahlah dulu paradigma anda. Paradigma berasal dari bahasa Yunani dimana Plato pertama kali mengatakannya dengan istilah Paradeigma. Banyak sekali definisi tentang Paradigma. Dalam bahasa sehari-hari paradigma juga disebut sebagai “cara kita memandang dunia”, bukan dalam arti visual tetapi lebih dalam arti mem-persepsi, mengerti atau menafsirkan. Lebih lanjut “paradigma” adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangan seseorang. Konsekwensinya paradigma ini juga akan membentuk citra subyektif (diri) seseorang mengenai realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita (obyek).

Paradigma adalah sumber dari sikap dan perilaku seseorang, berkenaan dengan tindakan mempersepsi, memahami dan menafsirkan sesuatu hal. Dengan kata lain manakala seseorang menguraikan sesuatu yang dilihat atau dialami, sebenarnya orang tersebut sedang menguraikan pandangannya/anggapannya mengenai hal tersebut atau sebenarnya dia sedang menjabarkan dirinya sendiri, citra subyektif-nya, persepsinya, pandangannya yang dilandasi oleh paradigmanya. Penafsiran masing-masing orang tentang sesuatu hal menggambarkan pengalaman orang tersebut sebelumnya.

Semakin sadar seseorang akan paradigmanya yang dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya, maka semakin orang tersebut bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi akibat paradigma yang dianutnya. Dia akan makin terbuka dan terus menguji paradigmanya berdasarkan realita baru yang ditemuinya, mendengarkan orang lain dan bersikap terbuka terhadap persepsi orang lain, sehingga mendapatkan gambaran yang lebih besar dan pandangan yang lebih obyektif sehingga yang terjadi kemudian adalah penguatan atau justeru perubahan paradigma.

Merubah paradigma bukan sesuatu yang gampang. Sebab kehidupan penuh sesak dengan paradigma. Namun, yang berbeda dari semuanya terletak pada dua hal yaitu ada paradigma umum dan ada paradigma khusus. Paradigma umum adalah sebuah cara pandang yang dipegang oleh banyak orang, sedangkan paradigma khusus adalah cara pandang yang dipunyai oleh segelintir orang saja. Perubahan paradigma menggerakkan seseorang untuk beralih dari satu cara pandang ke cara pandang yang lain. Perubahan paradigma bersifat kuat. Paradigma seseorang, terlepas dari benar atau salah, adalah sumber dari sikap dan perilakunya, yang akhirnya akan menjadi sumber dari hubungan orang tersebut dengan orang lain.

Hampir setiap terobosan penting di dalam berbagai bidang kehidupan, pada mulanya merupakan pemutusan dengan tradisi, cara berpikir dan paradigma yang lama. Perlu juga selalu diingat bahwa tidak semua perubahan paradigma memiliki arah positif dan tidak semua perubahan paradigma terjadi seketika.

Paradigma ibarat frame atau bingkai sebuah kacamata. Paradigma kerap bertautan dengan sikap dan perilaku kita (manusia) terhadap sesuatu hal. Jika paradigma adalah bingkai kacamata, maka sikap adalah lensa kacamata tersebut. Dan kita manusia kerapkali melihat/memandang sekitarnya dengan menggunakan keduanya. Dengan ilustrasi ini maka itu berarti Paradigma bukan berarti sikap. Sikap adalah lensa kacamata yang sesewaktu bisa kotor dan kabur bahkan tak sesuai dengan plus minus mata setiap orang. Sikap selalu terkurung dalam sebuah bingkai paradigma. Berdasarkan paradigma yang membingkai lensa tersebutlah manusia bertindak dan berprilaku. Jadi kita adalah cara atau bagaimana kita melihat diri kita.
Meminjam John Arthur Barker:

1. Paradigma adalah hal biasa,
2. Paradigma bersifat fungsional,
3. Pengaruh paradigma membalikkan hubungan yang masuk akal antara melihat dan mempercayai,
4. Jawaban yang benar hampir selalu lebih dari satu,
5. Paradigma yang terlalu diandalkan dapat mengakibatkan kelumpuhan paradigma, suatu penyakit mematikan dari keserbapastian,
6. Kelenturan paradigma merupakan strategi yang paling jitu pada masa yang tak menentu,
7. Manusia dapat memilih untuk mengubah paradigma mereka.


Langkah 2:
Perubahan dari dalam keluar
Kata kunci yang ditawarkan Covey adalah perubahan sesungguhnya haruslah dimulai terlebih dahulu dari dalam diri manusia lalu keluar. Disini ia kemudian menekankan perbedaan antara kepribadian dan karakter. Dua hal ini pasti dipunyai oleh setiap manusia. Dalam konteks paradigma, Covey menegaskan bahwa pilihan untuk merubah atau menggeser paradigma haruslah berpusat pada prinsip dan nilai. Prinsip dan nilai dalam diri setiap manusia akibat beragamnya paradigma dan kebiasaan cendrung berbeda. Tetapi jika merujuk pada apa yang khas dari manusia sebagai pribadi yang punya imajinasi, kehendak bebas, kesadaran diri dan nurani,maka prinsip dan nilai dalam diri manusia sesungguhnya tunggal. Manusia cenderung tak mau disakiti, tak mau dilecehkan, tak mau direndahkan hal ini melekat erat dalam diri setiap manusia. Dalam konteks karakter dan kepribadian maka Covey menambahkan sebuah kata depan untuk menekankan pada esensi luhur dari dua soal ini yakni etika.

Etika selalu berhubungan dengan nilai prinsip yang diyakini kebenarannya oleh manusia. Covey membaginya menjadi dua hal yakni :

1) Etika Kepribadian adalah apa yang tampak pada seseorang yaitu, gaya, penampilan, kemampuan untuk berbicara di depan publik, tampang, dan kekayaan. “Pintar saja tidak cukup kalau anda tidak gaya, begitu pula sebaliknya,
2) Etika Karakter (Watak) adalah apa yang sebenarnya di dalam diri seseorang yaitu, disiplin, ketulusan, keberanian, integritas, kejujuran, rendah hati, dan kemampuan untuk berhemat.

Menapaki The 7th Habit’s

Langkah 3:
Kemenangan pribadi

1. Jadilah Proaktif (Proactive) : sebuah prinsip visi pribadi
Menjadi proaktif adalah sesuatu yang lebih dari sekedar mengambil inisiatif. Proaktif berarti menyadari bahwa kita bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihan kita dan memiliki kebebasan untuk memilih berdasarkan prinsip dan nilai, dan bukan berdasarkan suasana hati atau kondisi di sekitar kita. Orang-orang yang proaktif adalah agen-agen perubahan, dan memilih untuk tidak menjadi korban, untuk tidak menjadi reaktif, mereka memilih untuk tidak menyalahkan orang lain. Covey menguraikan secara panjang lebar tentang : Lingkungan sosial sebagai cermin, bertindak atau menjadi sasaran tindakan, mendengarkan bahasa kita, lingkaran kekhwatiran/lingkaran pengaruh, langsung, tak langsung, dan tanpa kendali, meluaskan lingkaran pengaruh, mempunyai dan menjadi, ujung lain dari tongkat dan membuat dan memenuhi komitmen

2. Mulailah dengan akhir dalam pikiran (Start from the End)
Individu, keluarga, tim dan organisasi membentuk masa depan mereka dengan terlebih dahulu menciptakan sebuah Visi mental untuk segala proyek, baik besar maupun kecil, pribadi atau antar pribadi. Mereka tidak sekedar hidup dari hari ke hari tanpa tujuan yang jelas dalam pikiran mereka. Mereka mengidentifikasi diri dan memberikan komitmen terhadap prinsip, hubungan, dan tujuan yang paling berarti bagi mereka

3. Dahulukanlah yang utama (Put First thing first)
Mendahulukan yang utama berarti mengatur aktivitas dan melaksanakannya berdasarkan prioritas-prioritas yang paling penting. Apapun situasinya, hal itu berarti menjalani kehidupan dengan didasarkan pada prinsip-prinsip yang dirasakan paling berharga, bukan oleh agenda dan kekuatan sekitar yang mendesak saja.

Langkah 4:
Kemenangan publik: Paradigma Kesalingtergantungan

4. Berfikirlah menang-menang (Think Win Win)
Berfikir menang-menang adalah kerangka pikiran dan hati yang berusaha mencari manfaat bersama dan saling menghormati di dalam segala jenis interaksi. Berpikir menang-menang adalah berpikir dengan dasar-dasar Mentalitas berkelimpahan yang melihat banyak peluang, dan bukan berpikir dengan Mentalitas berkekurangan dan persaingan yang saling mematikan. Karakter ini bukanlah berpkir secara egois (menang-kalah) atau seperti martir (kalah-menang) Karakter ini adalah berpikir dengan mengacu kepada kepentingan “kita” bukan “aku”.

5. Berusaha dimengerti lebih dahulu baru dimengerti (Effective Communication)
Berkomunikasi dengan empathy; berusaha memahami dulu, baru kemudian berusaha dipahami. Jika kita mendengar dengan maksud untuk memahami orang lain, dan bukan sekedar untuk mencai celah untuk menjawab, kita bisa memulai komunikasi dan pembentukan hubungan yang sejati. Peluang-peluang untuk berbicara secara terbuka dan untuk dipahami kemudian akan datang secara lebih alamiah dan mudah. Berusaha untuk memahami memerlukan pertimbangan matang; berusaha untuk dipahami memerlukan keberanian. Efektivitas terletak pada menyeimbangkan atau menggabungkan keduanya

6. Wujudkan sinergi (Synergi)
Sinergi adalah alternatif ketiga – bukan cara saya, cara Anda, tetapi sebuah cara ketiga yang lebih baik daripada apa yang bisa kita capai sendiri-sendiri. Sinergi merupakan buah dari sikap menghormati, menghargai, dan bahkan merayakan adanya perbedaan di antara orang-orang. Sinergi bersangkut paut dengan upaya untuk memecahkan masalah, meraih peluang dan menyelesaikan perbedaan. Ini seperti kerja sama kreatif di mana 1 + 1 = 3, 11, 111, … atau lebih banyak lagi. Sinergi juga merupakan kunci keberhasilan dari tim atau hubungan efektif manapun. Sebuah tim yang bersinergi adalah sebuah tim yang saling melengkapi, dimana tim itu diatur sedemikian rupa sehingga kekuatan dari para anggotanya bisa saling menutupi kelemahan-kelemahannya. Dengan cara ini kita mengoptimalkan kekuatan, bekerja dengan kekuatan tersebut, dan membuat kelemahan dari masing-masing orang menjadi tidak relevan.

7. Asahlah gergaji (pembaharuan diri secara terus menerus) - Sharpen the Saw
Mengasah gergaji berkenaan dengan upaya kita untuk memperbarui diri secara terus-menerus pada empat bidang dasar kehidupan: fisik, sosial/emosional, mental, dan spiritual. Ini adalah karakter yang meningkatkan kapasitas kita untuk menjalankan semua kebiasaan lain yang akan meningkatkan efektivitas kita.

Tiga kebiasaan pertama (Proactive, Start form the End, Put First thing First) akan meningkatkan rasa percaya diri secara signifikan yang berujung kepada kemenangan pribadi (Private Victory). Ketiga karakter berikutnya (Think Win-win, Effective Communication, Sinergy) akan memperbaiki dan membina kembali hubungan tim menjadi lebih solid, lebih kreatif dan mencapai kemenangan publik (Public Victory). Kebiasaan ketujuh, jika dihayati secara mendalam, akan memperbarui enam kebiasaan yang pertama dan akan membuat kita benar-benar mandiri dan mampu untuk saling tergantung secara efektif. Karakter ini memperbarui integritas dan rasa aman seseorang yang berasal dari kedalaman dirinya sendiri (Karakter 1, 2 dan 3) dan memperbarui semangat maupun karakter untuk membentuk tim yang saling melengkapi (Karakter 4, 5 dan 6).

Menjumpai The 8th Habit

Langkah 5: Dari keefektifan menuju keagungan
Tahun 2005, Stephen R. Covey menambah karakter ke delapan sebagai dimensi baru dalam mewujudkan pemahaman mengenai pribadi yang utuh. Karakter kedelapan memberi pola pikir dan perangkat keahlian untuk secara terus menerus menggali potensi yang ada di dalam diri manusia melalui semua peran dalam 4 Peran Kepemimpinan :

1. Panutan atau menyajikan keteladanan (individu, tim). Menjadi panutan mengilhami timbulnya kepercayaan tanpa memintanya. Jika orang hidup dengan prinsip-prinsip yang diwujudkan dalam karakter ke-8, kepercayaan, pengikat kehidupan ini, akan tumbuh dengan subur. Kepercayaan akan muncul kalau kita memang layak dipercaya. Secara singkat, mejadi panutan menghasilkan kewibawaan moral pribadi.
2. Perintis. Merintis jalan menciptakan keteraturan tanpa perlu memaksakannya. Hal ini berarti bahwa jika orang mengaitkan identitas mereka dan terlibat dalam pembuat keputusan-keputusan strategis, khususnya mengenai nilai-nilai yang dipegang serta tujuan-tujuan prioritas tertinggi, mereka akan mengalami keterkaitan emosional. Manajemen dan motivasi merupakan urusan di dalam diri. Orang tidak perlu lagi diatur-atur dan dimotivasi dari luar. Merintis jalan menghasilkan kewibawaan moral visioner.
3. Penyelaras. Menyelaraskan struktur, sistem, dan proses merupakan perwujudan dari upaya untuk memupuk organisasi dan semangat kepercayaan, visi, dan pemberdayaan. Menyeleraskan menghasilkan kewibawaan moral yang dilembagakan.
4. Pemberdaya. Memberdayakan adalah buah dari ketiga peran yang lain – menjadi panutan, merintis jalan, dan menyelaraskan. Peran ini membebaskan potensi manusia tanpa memerlukan motivasi eksternal. Memberdayakan akan menghasilkan kewibawaan moral budaya.

The 8th Habit menurut Covey bukan sekedar penambahan satu kebiasaan lagi tetapi justru menurutnya dalam pribadi manusia yang Agung telah terkandung, inklud dan satu kesatuan atau telah memiliki 7 kebiasaan yang efektif sebelumnya. Covey dengan lugas mengatakan: Temukanlah suaramu, lalu ilhami lah orang lain menemukan suaranya! Itulah habit ke-8. Itulah kebiasaan ke-8. Suara jiwa: melody spiritual talenta, kegairahan, nurani, dan kebutuhan kita. Jika orang menemukan lalu mengekspresikan suara jiwanya, ia akan bergemilang. Dan, jika pemimpin menolong setiap warganya menemukan suaranya, keseluruhannya akan menjadi organisasi yang gemilang. Covey mengajak kita untuk: tak berhenti menggali dan menemukan potensi diri serta memberikan inspirasi pada orang lain untuk menemukan potensi mereka.

Dalam The 8th Habit Covey menjelaskan tentang pentingnya Otoritas moral. Otoritas moral adalah pemanfaatan kebebasan dan kemampuan kita untuk memilih berdasarkan suatu prinsip. Dengan kata lain, bila kita mengikuti prinsip-prinsip dalam hubungan kita dengan sesama kita, kita seperti sedang memasuki wilayah perizinan alam. Hukum alam (seperti gravitasi) dan prinsip-prinsip (seperti rasa hormat, kejujuran, kebaikan, hati, integritas, pelayanan dan keadilan) mengendalikan akibat dari pilihan-pilihan kita.

Sebagaimana anda mendapatkan udara dan air yang tercemar kalau anda terus menerus bersikap tidak baik dan tidak jujur kepada orang lain. Dengan pemanfaatan kebebasan dan kemampuan untuk memilih secara bijaksana, dan didasari dengan prinsip-prinsip yang baik, orang yang rendah hati akan memperolah otoritas moral terhadap orang-orang, budaya, organisasi, maupun seluruh masyarakatnya.

Nilai adalah norma sosial, yang bersifat personal, emosional, subyektif, dan dapat diperdebatkan. Kita semua punya nilai-nilai. Bahkan kriminal pun punya nilai-nilai. Pertanyaan yang harus anda ajukan terhadap diri sendiri adalah, apakah nilai-nilai anda didasarkan atas prinsip?. Bila anda runut sampai ujungnya, anda akan menemukan bahwa prinsip-prinsip tersebut adalah hukum alam, yang bersifat impersonal, faktual, objektif dan jelas dari sananya. Berbagai akibat atau konsekuensi ditentukan oleh prinsip, perilaku ditentukan oleh nilai, karena itu hargailah prinsip-prinsip itu!

Orang yang terobsesi dengan ketenaran, adalah contoh dari mereka yang nilai-nilainya mungkin tidak mengakar kuat pada prinsip. Popularitas membentuk pusat moral mereka. Dengan kata lain, keinginan untuk tenar dan tetap tenar menghalalkan segala cara. Mereka tidak tahu sebenarnya siapa mereka itu, dan tidak tahu ke mana sebenarnya arah ”utara” yang benar. Mereka tidak tahu prinsip mana yang harus diikuti, karena kehidupan mereka didasarkan pada nilai-nilai sosial.

Mereka tercabik karena tegangan antara kesadarannya akan tuntutan sosial dan kesadaran diri mereka di satu pihak, dan hukum alam dan prinsip di pihak lain. Bila sedang ada dalam pesawat terbang, keadaan seperti itu disebut vertigo. Dalam keadaan itu, Anda kehilangan arah atau acuan ke darat (yang dalam hal ini berarti prinsip) sehingga anda jadi benar-benar bingung dan tersesat.

Banyak orang yang menjalankan hidup mereka dengan semacam vertigo, atau kebingungan moral. Anda menyaksikan mereka dalam kehidupan anda dan dalam budaya populer. Mereka tidak mau bersusah payah untuk benar-benar memusatkan dan mendasarkan nilai-nilai mereka pada prinsip-prinsip yang abadi. Karena itu, tugas pokok kita adalah menentukan di mana ”utara yang sesungguhnya” dan kemudian mengarahkan segalanya ke situ. Kalau tidak, anda akan hidup dengan berbagai konsekuensi negatif yang pasti akan muncul. Sekali lagi, konsekuensi negatif itu tak terelakan karena walau nilai mengendalikan tingkah laku, prinsiplah yang mengendalikan tingkah laku itu.

Otoritas moral menuntut pengorbanan atas kepentingan egoistik berjangka pendek, dan keberanian untuk meletakkan nilai-nilai sosial di bawah prinsip-prinsip. Dan nurani kita adalah gudang dari prinsip-prinsip tersebut.

Nurani
Berupayalah untuk mempertahankan percikan api ilahi yang disebut nurani itu tetap menyala (George Washington).

Banyak yang telah dikatakan mengenai pentingnya nurani atau suara hati. Ada banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa nurani-yaitu kesadaran moral kita, cahaya batin kita-merupakan fenomena yang bersifat universal. Kodrat rohani dan kodrat moral manusia itu terlepas dari agama, atau pendekatan agama, budaya, geografi, nasionalitas atau ras tertentu. Kendati demikian, semua tradisi agama besar di dunia ini bertemu di dalam prinsip atau nilai dasar tertentu.

Immanuel Kant berkata, ”Saya selalu dibuat kagum oleh dua hal: langit berbintang-bintang di atas kita, dan hukum moral di dalam diri kita.” Nurani adalah hukum moral di dalam diri kita. Banyak orang yang percaya, demikian juga saya, bahwa nurani adalah suara Tuhan kepada anak-anakNya.

Orang lain mungkin saja tidak memiliki keyakinan seperti ini, tetapi tetap mengakui adanya suatu pemahaman yang sudah mereka bawa sejak lahir mengenai kejujuran dan keadilan, mengenai benar dan salah, mengenai apa yang baik dan buruk, mengenai apa yang mendukung dan apa yang mengganggu, mengenai apa yang memperindah dan apa yang merusak, mengenai apa yang benar dan salah. Tentu saja, berbagai budaya yang berbeda menerjemahkan pemahaman moral dasar ini dalam berbagai praktik dan istilah yang berbeda pula, tetapi terjemahan yang berbeda-beda itu tidak meniadakan pemahaman dasar mengenai baik dan buruk.

Ketika bekerja di antara bangsa-bangsa yang menganut beragam agama dan budaya, saya menyaksikan penyingkapan nurani yang bersifat universal itu. Nurani itu sesungguhnya adalah seperangkat nilai, suatu kesadaran mengenai keadilan, kejujuran, rasa hormat, dan sumbangan yang mengatasi budaya-sesuatu yang abadi, yang mengatasi jaman, dan tidak memerlukan bukti lain (self evident). Sekali lagi, hal itu sama jelasnya dengan fakta bahwa kepercayaan menuntut sifat dapat dipercaya. ”Nurani rela berkorban”-mengalahkan diri sendiri dan menundukkan ego demi tujuan, alasan atau prinsip yang lebih tinggi. Pengorbanan itu sesungguhnya berarti melepaskan sesuatu yang baik demi sesuatu yang lebih baik lagi. Kendati demikian dalam benak orang yang melakukan pengorbanan, sesungguhnya tidak ada kerugian, dan hanya si pengamat yang melihat hal itu sebagai pengorbanan.

Pengorbanan itu bisa mengambil banyak bentuk, sebagaimana dia dapat menampakkan diri dalam empat dimensi kehidupan kita: berkorban secara fisik dan ekonomis (tubuh); berupaya mengembangkan pikiran yang terbuka, selalu ingin tahu; dan membersihkan diri dari bermacam prasangka (pikiran); menunjukkan rasa hormat dan cinta mendalam terhadap sesama (hati); menundukkan kehendak diri kita kepada kehendak yang lebih tinggi demi kebaikan yang lebih besar (jiwa).

Nurani mengajarkan kepada kita bahwa tujuan dan cara mencapainya tidak terpisahkan, bahwa tujuan sesungguhnya sudah ada sebelumnya dalam cara mencapainya. Immanuel Kant mengajarkan bahwa cara yang digunakan untuk mencapai tujuan sama pentingnya dengan tujuan itu sendiri. Machiavelli mengajarkan sebaliknya, tujuan membenarkan, dan karena itu juga menghalalkan segala cara.

Nurani terus menerus mengingatkan kita akan nilai-nilai dari tujuan maupun cara mencapainya, dan bahwa keduanya tidak terpisahkan. Ego mengatakan kepada kita bahwa tujuan membenarkan caranya, karena ego tidak sadar bahwa tujuan mulia tidak akan pernah dapat diraih dengan cara yang tidak semestinya. Mungkin tampaknya anda bisa mencapai tujuan mulia dengan cara yang tidak semestinya, tetapi akan ada sekian banyak konsekuensi yang tidak diharapkan, yang sebelumnya tidak tampak atau tidak jelas, yang pada akhirnya akan menghancurkan tujuan itu sendiri. Misalnya, anda dapat meneriaki anak anda untuk membersihkan kamarnya.

Bila tujuan anda adalah ”kamarnya jadi bersih”, mungkin anda mencapai tujuan itu, tapi ya hanya itu. Saya jamin, cara yang anda pakai itu tidak akan hanya berpengaruh negatif terhadap hubungan anda dengan anak anda, tetapi kamar mereka juga tidak akan tetap bersih bila anda ke luar kota beberapa hari saja.

Nurani secara lebih mendalam merubah visi, disiplin dan gairah kita dengan cara memperkenalkan kita dengan berbagai bentuk hubungan. Dia mendorong kita untuk berpindah dari keadaan mandiri jadi saling tergantung. Ketika hal ini terjadi segala sesuatunya jadi berubah, anda memahami bahwa visi dan nilai harus disebarkan agar menjadi milik bersama, sebelum orang-orang bisa menerima menjadi disiplin yang dilembagakan dalam struktur dan sistem yang mengemban nilai-nilai bersama itu. Visi bersama itu akan menciptakan disiplin dan keteraturan tanpa menuntutnya.

Nurani sering menyediakan alasan (kenapa); visi mengidentifikasi apa yang hendak dicapai; disiplin mewakili bagaimana anda mencapainya; dan gairah mewakili kekuatan perasaan dibalik kenapa, apa dan bagaimana tadi. Nurani mengubah gairah menjadi belarasa atau welas asih (compassion). Dia membangkitkan perhatian tulus kepada orang lain, suatu kombinasi antara simpati dan empati, sehingga kita bisa merasakan penderitaan orang lain. Belarasa adalah perwujudan gairah dalam keterkaitan kita dengan orang lain.

Bila kita berusaha untuk hidup menurut nurani kita, nurani itu akan membangkitkan integritas dan ketenangan pikiran. Seorang pastor projo kelahiran Jerman yang sekaligus juga pembicara dan penulis yang membangkitkan motivasi, William J.H. Boetcker, pada awal abad kedua puluh mengatakan, ”Bila anda akan mempertahankan rasa hormat anda terhadap diri sendiri, lebih baik membuat orang lain tidak senang dengan melakukan hal-hal yang anda ketahui salah.” Kehormatan dan integritas itu pada gilirannya akan membuat orang yang memilikinya mampu menjadi baik hati sekaligus berani. ” Baik hati dalam arti bahwa dia akan menunjukkan rasa hormat yang mendalam terhadap orang lain, terhadap pandangan, perasaan, pengalaman, dan keyakinan mereka”.

Berani dalam arti bahwa mereka dapat mengemukakan keyakinan mereka sendiri tanpa ancaman pribadi. Benturan di antara berbagai pendapat yang berbeda bisa menghasilkan alternatif ketiga, yang lebih baik daripada gagasan pertama yang muncul. Ini merupakan sinergi yang sesungguhnya, dimana keseluruhannya lebih besar daripada jumlah total bagian-bagiannya.

Orang yang tidak hidup dari nuraninya tidak akan mengalami integritas batiniah dan ketenangan pikiran. Ego mereka akan terus berusaha mengendalikan hubungan dengan orang lain. Kendati barangkali mereka bisa berpura-pura baik hati dan berempati, mereka akan menggunakan manipulasi halus, bahkan bisa lebih jauh terlibat dalam perilaku diktator, yang sepintas lalu kelihatan baik, tetapi sesungguhnya tidak.

Epilog:
Sebelum Muhammad Yunus memperoleh Nobel perdamaian,Covey justru telah meletakannya sebagai sosok yang pantas menyandang predikat manusia yang mampu menginspirasikan manusia lain (The 8th Habit). Kelebihan Yunus justru terletak pada upayanya yang sungguh untuk mengalihkan paradigmanya dari pola sangkar burung-berpikir dari atas-menjadi pola cacing yang hidup dibawah serta merasakan sendiri. Saya kemudian menjadi semakin yakin bahwa “Kala kita bodoh, kita memang ingin menguasai orang lain. Tetapi kala kita bijak, kita ingin menguasai diri kita sendiri. Mudah-mudahan apa yang dianjurkan oleh Covey dengan The 8th Habit-nya menjadikan kita semakin bijak dalam berfikir dan sungguh arif dalam bersikap dan berprilaku.

Marilah kita menjadi pelari yang berlari bukan untuk mengalahkan pelari lain, sebab jika demikian kita akan sibuk mengintip laju lawan-lawan kita. Tetapi menjadi pelari yang berlari untuk memecahkan recordnya sendiri, tak peduli apakah pelari lain akan menyusul kita atau tidak. Sebab kita mencurahkan seluruh perhatian demi perbaikan catatan sendiri. Kita bertanding dengan diri sendiri, bukan melawan orang lain. Karenanya, kita tak perlu bermain curang. Keinginan untuk mengalahkan orang lain adalah awal dari kekalahan diri sendiri. (far)


_________________________________________________________________________________
* FARIS WANGGE: Ex KP PMKRI Denpasar, 2004/2005. Saat ini berkecimpung di Labour’s Bali Forum (LBF) bersama Forum pendamping buruh Nasional; DEMOS (Riset, Kolsultasi, Advokasi Demokrasi & HAM) bersama ISAI, KontraS & Interfidei, juga aktif di Watch Terminal bersama ICW & FITRA dan Lembaga pemerhati Hukum & Ham Bali bersama para Hakim, Jaksa & Akademisi, serta menjadi salah satu pendamping OMK Wilayah Bali-NTB bersama KomKep Keuskupan Denpasar.CP suntzuriz@yahoo.com/0812-36072032.

* The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness
Penulis : Stephen R Covey
Tebal : 600 Halaman

The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness karya Stephen R Covey, masuk dalam kategori buku mega best-seller. Secara fisik, buku ini berukuran jumbo, dalam edisi Indonesia tebalnya lebih dari 600 halaman, tetapi juga besar karena ia sarat dengan pikiran-pikiran akbar. Peluncuran buku ini pun, Rabu (30/11/2007), sangat megah untuk acara sejenis. Dihadiri sekitar 2.000 orang, yang membayar jutaan untuk mendengar ceramah Covey sekitar 200 menit. Buku ini hebat karena sejarah pendahulunya The 7 Habits of Highly Effective People (1989) memang hebat: berstatus mega-bestseller,terjual 15 juta eksemplar dalam 15 tahun saja. Bandinkan dengan rivalnya: How To Win Friends and Influence People (Dale Carnegie, 1936) yang baru mencapainya sesudah 60 tahun. Menurur Wikipedis, cuma ada tiga buku sejenis yang mengungguli keduanya: The Power of Positive Thinking (Norman Vincent Pale, 1952), Think and Grow Rich (Napoleon Hill,1937), dan The Greatest Salesman in the World (Og Mandino, 1974), masing-masing terjual 20 juta, 30 juta, dan 50 juta eksemplar. Semuanya kini dianggap sebagai karya klasik dalam literatur sukses.


Referensi:
1.The 7 Habits of Highly Effective People, Karya Stephen R Covey (1989)
2.The 8th Habit:From Effectiveness to Greatness karya Stephen Covey (2007)
3.Re-Code-Your Change DNA, karya Rheinal Kasali (2005)
4.On Becoming Leaner, karya Andrias Harefa (2000)
5.Motivasi Net, karya Andi Muzaki
6.Work Preferences & Strength Handbook
7.The 7th Habit’s Modul:Waroeng Kiri Community (2004)